Politik dan Sejarah
Oleh M Anis Matta
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
POLITIK bisa punya banyak makna dan kebanyakan dari pemaknaan itu
bertalian dengan kekuasaan. Tidak salah, tetapi saya ingin membahas
politik dari sudut pandang yang berbeda. Saya ingin memahami politik
sebagai ”industri” pemikiran. Sebagai bursa pemikiran, politik bertugas
memberi arah bagi kehidupan masyarakat. Politik terancam gagal jika
masyarakatnya mengalami rasa kehilangan arah yang dituju (sense of
direction). Hilangnya
sense of direction tersebut tampak dari
suasana hati publik (public mood) yang diwarnai kemarahan dan kecemasan
kolektif, menggantikan kepercayaan dan harapan kolektif mereka.
Agar dapat menjalankan tugas memberi arah itu, politik—dalam arti
kehidupan politik secara keseluruhan—harus mampu memahami, merekam, dan
menangkap perubahan fundamental yang terjadi di tengah masyarakat serta
memberi arah yang benar bagi perubahan itu.
Jika kita melihat rentang sejarah, dinamika perubahan sosial merupakan
interaksi empat elemen: manusia, ide, ruang, dan waktu. Manusia adalah
pusat perubahan karena merupakan pelaku atau aktor di mana ruang dan
waktu merupakan panggung pertunjukannya. Ide jadi penggerak manusia
dalam seluruh ruang dan waktunya. Setiap kali ada perubahan yang penting
dalam ide-ide manusia, kita akan menyaksikan perubahan besar dalam
masyarakat mengikutinya.
Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara
tantangan dan respons terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang
memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis
itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena merespons
tantangan di sekelilingnya. Hasil dari respons baru tersebut selanjutnya
melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respons-respons baru.
Begitu seterusnya.
Dalam perspektif itulah, politik bertemu dengan sejarah. Sejarah adalah
cerita tentang manusia di tengah seluruh ruangnya dalam rentang waktu
yang panjang. Sejarah adalah cerita tentang tiga orang: orang yang sudah
meninggal, orang yang masih hidup, dan orang yang akan lahir. Jika
politik ingin memahami drama perubahan sosial secara komprehensif,
politik harus memahami cerita tentang tiga orang itu. Politik menjadi
dangkal jika ia hanya memahami cerita tentang satu orang, yaitu orang
yang masih hidup. Itu adalah jebakan kekinian, di mana kita tampak
seperti telah menyelesaikan masalah hari ini ketika sebenarnya yang kita
lakukan justru memindahkan beban masalah itu kepada generasi yang akan
lahir esok hari.
Berpijak pada sejarah
Jika sejarah adalah cerita tentang hari kemarin, hari ini, dan hari
esok, sejarah bukan saja metode untuk memahami masa lalu dan masa kini,
melainkan juga menjadi jalan paling efektif menemukan alasan untuk tetap
berharap bahwa esok hari cerita hidup kita akan lebih baik.
Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat
kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini walaupun
buah kebajikan itu akan dipetik mereka yang baru akan lahir esok hari.
Tugas politik adalah memberi arah bagi kehidupan masyarakat agar mereka
merasa memiliki satu arah yang dituju, memiliki orientasi. Rasa memiliki
arah ini merupakan sumber kepercayaan diri dan harapan yang kuat bagi
masa depan.
Sebaliknya, chaos dan anomi membuat orang merasa tersesat dan limbung.
Untuk dapat menemukan arah itulah, kehidupan politik harus berpijak pada
sejarah. Berpijak pada sejarah tidak berarti melulu melihat ke belakang
atau memuja kejayaan masa lalu; berpijak pada sejarah harus dimaknai
sebagai keyakinan merancang masa depan.
Muatan sejarah menghindarkan politik dari kedangkalan dan membawanya
pada kedalaman kesadaran. Dengan memahami sejarah, politik akan bergeser
dari pandangan sempit sekadar berebut kekuasaan menuju keluasan
cakrawala pemikiran, dari sekadar perdebatan mengurusi kenegaraan
menjadi perbincangan arsitektur peradaban.
Pertanyaan yang segera menghadang kita adalah apa yang akan terjadi pada
Pemilu 2014? Apakah pesta demokrasi tahun depan itu sekadar menjadi
ajang peralihan kekuasaan secara damai, sesuatu yang
business as usual di dalam demokrasi?
Pemilu 2014 adalah momentum peralihan sejarah yang didorong oleh
perubahan struktur demografis Indonesia. Penduduk berusia 45 tahun ke
bawah mencapai sekitar 60 persen dari populasi. Bukan sekadar
mendominasi dari segi jumlah, kelompok ini bercirikan pendidikan yang
tinggi, kesejahteraan yang membaik, dan terkoneksi dengan dunia luar
melalui internet. Kita juga menyaksikan lahirnya native democracy, yaitu
mereka yang sejak lahir hanya mengenal demokrasi. Pemilih pemula yang
berusia 17 tahun pada 2014 adalah mereka yang lahir pada 1997. Mereka
tidak merasakan perbedaan suasana otoriter pada masa Orde Baru dengan
kebebasan pada masa kini. Bagi mereka, demokrasi dan kebebasan adalah
sesuatu yang terberi (given) dan bukan hasil perjuangan berdarah-darah.
Mayoritas baru ini memerlukan jawaban baru dari partai politik. Ada
hal-hal yang akan dianggap usang. Mereka ingin melihat visi dan agenda
baru. Untuk menjawab tantangan itu, politik harus bisa mendefinisikan di
mana kita berada sebagai sebuah bangsa dan sebuah entitas peradaban
sekarang ini. Sejumlah gelombang sejarah telah kita lalui sebagai
negara-bangsa dan banyak pelajaran penting yang dapat kita sarikan.
Pertanyaan mendasar ini menghindarkan kita dari jebakan kedangkalan
politik. Sejarah adalah kompas bagi politik dalam mengarungi masa yang
akan datang. []
*Kolom Opini KOMPAS (7/12/2013)
Sumber;
http://www.pkspiyungan.org/2013/12/politik-dan-sejarah-anis-matta.html